THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 12 Agustus 2010

Si Bungsu yang Tersayang

Anak aku yang ke tiga laki-laki. Setelah mempunyai anak perempuan dua, tentunya keinginan memiliki anak laki-laki sangat diharapkan. Doa dan usaha secara medis kami lakukan bersama. Dan Tuhan mengabulkan doa kami. 28 Desember 2000 saya melahirkan secara normal di seorang bidan di kota kami. Senang tentu. Tahun ke tahun sebelum saya merawatnya sendiri, saya belum menyadari bahwa anak saya yang ke 3 ini adalah anak yang seharusnya saya rawat lebih dari kakak2 nya. Kebetulan saya diberi Tuhan suster yang bisa membantu dalam merawat anak2 adalah suster2 yang berpengalaman. Sehingga sampai anak laki2 saya berusia 6,5 tahun saya tidak pernah merawat jika sakit. Tetapi setelah suster itu keluar dari saya (dia mempunyai cucu yang harus dia rawat) barulah saya merawat anak saya yang sakit. Dan saya sekarang merasakan betul bagaimana tidur yang terganggu bila anak sakit. Ujian dari Tuhan yang saya alami adalah bila sakit anak aku yang laki2 sangat mengkuatirkan. Seperti yang terjadi pada Rabu 11 Agustus 2010. Panas yang tidak turun menyebabkan anak itu tidak mau makan. Kamis pagi jam 7 dibawa ke Bdg oleh suami atas saran saya. Untungnya, suami yang kerap marah, sekarang mulai menyadari tanggungjawabnya. Tidak dengan marah2 dia pergi, tapi ngomelnya di mobil ke pagawai yang membawa anak. Hahaha, Kesadaran yang tidak sesungguhnya. Pulang dari Bandung terlihat lebih baik. Tetapi menjelang malam, puncaknya jam 8 dia panas sekali. Saya memberi makan obat turun panasnya kembali, walau sebenarnya jam 6 sore baru makan. Dengan doa dan nyanyian saya memohon bantuan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Santa Maria. Dan mujijat memeng nyata. Dalam 15 menit obat yang dimakannya bereaksi. panasnya mulai turun. Saya menyadari kedosaan saya yang dalam beberapa bulan lalu jarang duduk bersama dengan anak2 dan mengajak berdoa bersama. Padahal dulu kami selalu melakukannya, ber 4 tanpa suami. Tapi buat saya tidak ada yang harus dibuat pusing doa bersama tanpa suami itu. Suami yang belum siap untuk menjadi gembala buat keluarganya tidak membuat saya marah. Biarlah hubungan antara Tuhan dan suami dilakukan secara pribadinya. Melihat dia selalu berdoa pagi dan malam pun saya sudah puas. Teguran Tuhan untuk kelalaian saya sangat saya sadari malam itu, sehingga dengan doa yang setulus dan sejujur yang bisa saya lakukan saya akui kedosaan saya. Puji Tuhan. Dia memang seorang pengampun. Anak saya sembuh. Terimakasih Tuhan.