THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 27 September 2010

Mencari Pekerjaan Yang lebih Pasti

Saya merasa seperti pengangguran. Tidak ada kegiatan harian yang membuat hidup lebih bersemangat. Kemarahan sebenarnya sedang memuncak dalam beberapa hari ini. Tepatnya semenjak pagawai bagian depan rumah makan keluar semua. Ketidakpuasan dalam salery yang membuat semangat untuk kerja tidak ada. Tetapi saya tidak ada cara untuk melampiaskan kemarahan ini. Tidak adil dan akan merugikan pada orang lain seandainya saya marah pada orang yang tidak bersalah. Saya saat ini belajar untuk lebih bersabar, walau saya akui dengan jujur bahwa batas kesabaran saya sebenarnya tipissssss sekali. Saya ambil inisiatif untuk mengelola kadar emosi saya agar tidak meledak sekaligus juga menjaga berat tubuh, saya akan memulai untuk puasa. Saya memang tidak sanggup untuk berpuasa seperti kaum muslim. Saya hanya akan memakan nasi putih saja. Tidak dengan apapun. Selama saya kuat. Saya benar2 cape secara bathin. Orang yang melihat saya pasti mengatakan bahwa saya awet muda. Punya anak 3 tidak seperti yang punya anak 3. Badan tidak gemuk. Langsing tetap seperti 15 tahun yang lalu. Hahaha, senang mendengar pujian seperti itu, banyak yang tanya apa program diet yang saya lakukan. Hahahaha, diet? Ngak ada itu diet di program saya. Tanpa diet, jadi menantu Trijaya senantiasa langsing. Ada 3 menantu perempuan Trijaya, cuma satu yang gemuk. Jadi kalau yang gemuk itu tentunya sudah merasa "manis" nya jadi menantu Trijaya. Yang 2 ngak gemuk2 tuh!!! hahahahahaaaaaaa
Seandainya saya tidak bisa menulis di blog atau diary, entah bagaimana otak saya merespon kepenatan jiwa ini. PUJI TUHAN, saya diberi kemampuan untuk menulis, jadi ada pelepasan yang bisa saya lakukan.

Jumat, 24 September 2010

Seorang Pengeluhkah Saya?

Dengan menulis segala kepusingan diri, apakah menjadikan saya seorang pengeluh? Kalau boleh jujur, saya tidak ingin dikatakan seorang pengeluh. Karena apa yang saya lakukan di tulisan ini hanya sebuah pengungkapan yang sejujurnya tentang apa yang saya alami. Saya tidak bermaksud mengeluh pada siapa pun. Tentunya jika saya ingin mengeluh, saya akan melakukan pembicaraan dengan keluarga tentang apa yang sebenarnya saya alami dalam berumahtangga. Saya menulis justru tidak ingin membuat pikiran orangtua atau siapapun keluarga dekat ikut merasa pusing. Saya sudah dewasa ketika menikah, 28 tahun. Bukan usia yang muda lagi. Jadi alangkah malunya saya jika mengeluh pada keluarga. Saya menulis sebagai saluran rasa yang ada di dada, menyesakan seandainya tidak ada jalan untuk mengeluarkannya. Jadi keputusan apapun yang saya lakukan dalam pernikahan adalah resiko pribadi yang harus saya tanggung. Mungkin dari bekal pengalaman ini, saya bisa mengajarkan anak2 saya agar kelak mereka tidak mengalami hal yang sama yang saya alami. Pelajaran pertama adalah jangan pacaran di usia sekolah. Karena di usia itu sangat tidak mungkin kita membicarakan tentang uang dan warisan. Lalu, jangan pernah hanya mendengar tentang kekayaan dari orang lain tanpa pernah mengetahui kebenarannnya. dua hal inilah yang salah, yang menjadi kebodohan saya. Nama besar Trijaya, ternyata hanya omong kosong. Yang benar2 kaya sebenarnya kakak ipar suami yang mempunyai sikap low profile. Yang dimiliki Trijaya hanyalah kesombongan. Usia yang muda membuat saya tidak berpikir tentang guna sertifikat. Dengan di beri rumah tinggal saya berpikir bahwa itu sudah menjadi kepemilikan. Hahaha.

Kamis, 23 September 2010

Bekerja di Rumah Makan

Setelah memperoleh "jaminan" bahwa suami akan mendapat pinjaman sebesar 1,1 M saya mengatakan kepada cihu bahwa sertifikat tanah baru bisa diserahkan setelah kami mengambilnya di bank. Dan tentunya memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Cihu mengatakan tidak perlu, tetapi saya memaksakan hal itu harus saya lakukan. Buat saya, ketika "penjualan" terjadi, saya harus memberikan sertifikat. Hanya saya waktu itu meminta agar diberi waktu untuk menebusnya kembali, mungkin 4 atau 5 tahun, karena waktu saya membelinya dari keluarga mami, saya disarankan untuk tidak menjualnya. Karena nilai histori yang dimiliki oleh tanah tsb. Sepulang dari pembicaraan itu, saya kembali di goblok2 lagi oleh suami karena memaksakan keinginan saya untuk memberikan sertifikat. Suami bilang, jika saja saya tidak sok gengsi dengan memaksa cihu untuk menerima sertifikat, dia bisa kembali "menjual" sertifikat itu ke bank. Oooo, rupanya suami saya memang tipe tidak tahu diri. Hahahahaha. Kasihan ya saya ini? Punya suami kok tidak punya malu. Hahahahaha. Sedih, malu, tidak mengira bahwa suami sedemikian buruk dalam berpikir, malam itu juga saya menelepon keponakannya (bernama Wawa, anak perempuan cihu yang memberi pinjaman). Saya katakan pada Wawa, bahwa saya melakukan hal tsb bukan sok menjadi orang suci. Tetapi saya merasa hal itulah yang sepantasnya saya lakukan. Justru sya ingin memperlihatkan bahwa kikiwnya yang menikah dengan saya berbeda dengan kikiwnya yang lain, atau kukuh2nya. Saya selama ini sudah menjadi teman curhat Wawa tentang perilaku om dan tantenya dari pihak ibu. Jadi tidak slah jika saya bercerita tentang kikiw nya yang bungsu yang saya nikahi.
Malam itu, saya benar2 syok berat. Sungguh bukan hal mudah mengerti tentang kelicikan trah Trijaya. Saya sebenarnya sudah cukup mendapat cerita tentang kakak2 suami dari Wawa. Bagaimana mereka menggerogoti kekayaan ayahnya. Tetapi walaupun saya sudah mendapat bekal cerita, saya yang selama ini mengajarkan sikap "cengli" pada suami, malam itu mendapat suatu pengalaman, bahwa sifat turunan jelek memang susah dihapus. Selama 12 tahun perkawinan, saya tidak pernah meminta bantuan ekonomi pada cihu, tetapi saya terjerumus pada belaskasihan cihu bukan atas ke goblokan saya yang selama ini selalu suami dengung2an di telinga saya, tetapi sebaliknya , karena "kepandaian" suami lah saya masuk dalam lingkaran hutang budi pada cihu.
Hutang Budi. Inilah yang memulai saya terjun dalam bekerja di rumah makan.
Pada suatu hari, setelah saya menyerahkan sertifikat tanah itu pada cihu, saya diajak berbincang tentang kemungkinan membuka rumah makan di rumah cihu yang tidak dipakai. Saat itu juga saya teringat ramalan banthe, jadi saya ingin mencoba kebenaran ramalan itu. Betulkah saya memang mempunyai hoki di bidang makanan. Yang mengajak bukan cihu, tapi istrinya, yaitu cici suami. Tanpa berpikir apakah hal itu akan berjalan sesuai yang dibicarakan dengan manis, saya meng ok kan tsb. Pikiran saya bukan untuk berapa saya akan dibagi, tetapi saya ingat bahwa saya meminta waktu agar tanah itu tidak dijiual, jadi alangkah baiknya saya bisa membantu, agar dg demikian saya "seolah-olah" memberi bunga pada tanah yang saya gadaikan pada cihu.
Rupanya pengetahuan saya tentang klan keluarga suami benar2 nol besar. Pikiran saya tentang balas budi itu tidaklah ada yang baik di mata dan pikiran keluarga suami. Karena ketika Jan 2010, yang artinya saya meminjam uang tsb baru 1 tahun 3 bulan (dunia saham koleps Okt 2008), cici suami menanyakan kemungkinan tanah itu dijual pada Gereja GKI. Karena tanah saya itu memang sangat berdempet dengan GKI. Hati saya terluka saat itu juga!!!! Saya telan kepedihan itu dalam2. Saya katakan: Jual saja, tetapi saya tidak tahu berapa harga pasaran di sana. Pulang dari rumah makan, saya marah pada suami. Saya katakan saya ikhlaskan untuk menjual tanah itu, bagi saya itu mungkin kehendak Tuhan. Padahal, saya bukan faktor utama yang menyebabkan tanah warisan itu tergadaikan. Suamilah yang secara definitif adalah adik kandungnya yang membuat tanah warisan itu tergadaikan. Ketika menulis saat ini, emosi saya meledak. Saya menangis. Tetapi saya tahu saya harus ikhlas. Tuhan berjanji bahwa serigala ada goa, burungpun diberi sarang, maka saya pun boleh percaya, saya akan mendapat rumah yang layak pada suatu hari nanti.
Mungkin, jika saja ada yang membaca blog ini dan tahu tentang pribadi saya, tentu akan bertanya, bukankah saya dan suami sudah menempati rumah yang layak? Rumah yang kami tempati semenjak menikah, secara hukum negara bukan milik suami. Tetapi sertifikatnya atas nama kakak laki2nya (Tataw). Sudah sejak saya mempunyai anak pertama, kami bertanya tentang status rumah yang kami tinggali, dan sampai terakhir kami bertanya, Tataw tetap menggelengkan kepala untuk menjual rumah yang kami tempati itu. Jadi sampai blog ini saya tulis saya tidak mempunyai harta benda duniawi yang berarti!!!!!
Di bagian yang akan datang saya akan tulis tentang ke 6 kakak2 suami.

Rabu, 22 September 2010

Ramalan seorang Banthe (Pendeta Budha)

Saya beragama resmi Katolik, dan tidak menyukai sesuatu yang berbau ramalan. Bagi saya ramalan bukanlah hal menjadi pijakan dalam hidup. Hanya sesuatu yang bisa menenangkan jika baik, dan yang menakutkan jika tidak baik. Jadi ketika saya bertemu dengan seorang banthe di rumah seorang sahabat, saya tidak terlalu agresif. Saya datang atas undangan dari teman itu. Ketika bertemu, saya dilihat garis tangan oleh beliau, dan banthe itu mengatakan bahwa saya akan menjadi kaya jika berbisnis makanan. Saya katakan bahwa saya tidak bisa masak. Tetapi banthe itu tetap menganjurkan untuk membuka rumah makan, karena kata banthe saya orang yang sangat suka membagi makanan pada orang lain, sehingga hoki saya pun dari makanan. Saya akui apa yang banthe katakan, bahwa saya orang yang senang berbagi. Bukan niat untuk menyombongkan diri, tetapi saya tidak termasuk orang pelit. Bagi saya, mudah sekali untuk merasa kasihan pada orang lain. Sering menangis ketika melihat acara di televisi yang menyuguhkan tentang realita hidup orang miskin. Saya sering berpikir, apakah para anggota DPR, atau pemerintahan tidak pernah melihat acara2 tersebut? Tidakkah hatinya merasa sedih melihat ada banyak rakyatnya yang susah? Saya geleng2 kepala sendiri jika melihat tingkah polah aparat pemerintahan negeri ini. Urat malu mereka sudah putus sama sekali. Mereka tidak malu memakai fasilitas negara yang dibayar oleh uang rakyat, sementara ketika mereka memakai kendaraan itu mereka melihat anak2 pengemis yang menadahkan tangannnya untuk uang Rp.500. Benar2 sesuatu yang ironis. Tetapi di berita2 tv, walaupun sudah sangat sering di angkat oleh para wartawan tentang kemiskinan itu, para pejabat negara ini tidak ambil pusing. Mereka benar2 tutup mata hati mereka!!!!!!
Kembali pada ramalan banthe, saya dan teman itu bersepakat untuk kerjasama membuka rumah makan, walaupun kami berdua sama2 tidak bisa masak. Kami bertekad hanya karena ramalan. Hahahhahahhaha......
Sayang sekali ketika saya bermaksud meminjam ruko yang dimiliki suami, dia menolak meminjamkan. Padahal ruko itu didapat dengan terpaksa, karena ruko itu dibeli sebagai konsekuensi tidak dibayarnya utang bangunan. Jadi ceritanya, suami saya menjadi developter ruko, tetapi macet di tengah jalan. Jadi uang kami tidak kembali, akhirnya terpaksa ambil ruko. Sebenarnya suami ingin menjual ruko tsb, tetapi belum ada yang mau. Mudah2an dengan tulisan di blog ini ada orang yang mau membeli ruko tsb. Ruko itu terletak di tengah kota. Cocok untuk ruang usaha. Bahkan untuk praktek dokter pun bagus, karena mempunyai tempat parkir tersendiri. Saya sakit hati sebenarnya ketika saya mengutarakan keinginan untuk berbisnis rumah makan, suami malah menghina, meng goblok2 kan diri saya. Jadi jauh dari sebuah dukungan.
Akhirnya tidak jadilah saya bekerjasama membuka rumah makan.
Lalu waktu berputar, suami kehilangan banyak uang di bursa saham. Dia tidak bisa tidur hampir satu bulan. Suami memakai uang bank ketika main saham itu, dengan memakai sertifikat tanah atas nama saya. Tanah itu memang milik keluarga mami saya. Entah tahun berapa saya lupa, tanah itu dijual dengan nilai Rp.150 juta. Karena tanah itu milik keluarga, akte jual belinya berupa hibah. Suami membayar 3/4 dari harga, karena yang 1/4nya adalah bagian mami saya, yang oleh beliau langsung diwariskan pada saya. Suami menggadaikan tanah tsb ke bank senilai Rp.800 juta (katanya, karena saya tidak pernah dilibatkan). Nah uang itulah yang dipakainya bermain saham. Sebelum kejatuhan saham sedunia, saya yang mengenyam pendidikan sebagai sarjana ekonomi (yang sering di hina oleh suami karena saya hanya kuliah di Univ tidak ternama di kota kami, Tasikmalaya), sudah memberitahukan bahwa sebaiknya dia mengambil semua saham2 nya karena akan ada pemilihan umum. Saya waktu itu berpikir untuk pemilu lokal, negara sendiri. Bukan pemilu di USA. Kembali hinaan yang saya terima. Saya di goblok2. Tetapi rupanya Tuhan tetap ingin menaikkan derajat kemanusiaan saya, si "tolol" ini kembali benar, bahwa bursa terpuruk!!!
Di tengah keterpurukannya, suami tidak bisa tidur. Dia pasti pusing dengan uang bank yang dia pakai. Bunga bank tinggi waktu kejadian itu. Dia meminta saya untuk menelepon kakak laki2 saya agar membeli tanah yang di simpan di bank. Kakak laki2 saya yang satu keturunan langsung tidak merespon telp saya. Saya jelas sakit hati pada dia waktu itu. Saya mencoba meng sms, dan tetap tidak ada respon. Lalu saya menawarkan untuk meminta bantuan cihu (panggilan untuk kakak ipar laki2)nya, karena sudah tidak ada jalan lain akhirnya dia menelepon cicinya (kakak perempuannya no 3), agar diberi waktu untuk berbincang. Respon mereka baik. Mereka menyuruh kami datang malam hari. Saya tidak ingat tanggal berapa, tapi saya tidak pernah akan melupakan malam itu. Saya yang harus bicara dengan cihunya. Maka saya memulai kalimat pembuka bahwa kejadian ini terjadi karena KESOMBONGAN. Dan suami sekarang kehilangan kesombongannya karena tenggelam di bursa. Inti dari pembicaraan malam itu, kami diberi bantuan 1,1 M untuk bisa melanjutkan hidup. Saya sungguh salut dengan cihu. Dia benar2 orang baik. Bahkan cihu menyuruh istrinya untuk segera mengambil uang Rp.800 juta agar bisa mengambil sertifikat di bank. Tetapi malah cici nya yang keberatan, karena mau menolong dengan uang arisan. Bukan dengan uang kontan. Hahahahahha. Ironis ya?
Saya tutup tulisan ini di sini, besok atau lusa saya kembali akan menulis. Saya sudah cape menusuk-nusuk tuts laptop. Hahahahaha

Selasa, 21 September 2010

Menulis Menjadikan Kelegaan Tersendiri

Menulis tentang kejadian yang dialami oleh diri sendiri di blog adalah sesuatu yang menyenangkan bagi saya, karena banyak hal yang tidak bisa saya ungkapkan pada orang yang berhubungan secara kekeluargaan. Saya sepertinya menemukan muara atau tempat untuk mengadukan hal-hal yang menyenangkan ataupun membuat saya berduka. Seperti menulis sebuah novel untuk diri sendiri. Ada hal yang dalam minggu ini membuat emosi saya meninggi. Permasalahannya diawali oleh karyawan rumah makan yang tidak kembali bekerja setelah libur lebaran. Saya jengkel karena mereka tidak mengatakan dari awal bahwa mereka tidak akan kembali. Saya tidak menyalahkan mereka jika tidak ingin bekerja kembali, tetapi saya marah karena mereka tidak jujur. Jika saja mereka memutuskan untuk tidak bekerja seharusnya mereka berkata jujur, saya tetap menghormati keputusan mereka. Itu adalah "hak" mereka. Saya mengerti kenapa mereka berhenti. Jika saja saya pun hanya berstatus "karyawan", saya pun akan keluar. Tapi status yang adik ipar membuat saya bertahan dengan perasaan...........
Mengelola rumah makan yang bukan milik sendiri banyak makan hati. Apalagi dengan tingkat ketidak puasan yang selangit. Tambah membuat pusing. Di tulisan yang akan datang saya akan menulis kenapa saya tidak membuka sendiri rumah makan.