THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Kamis, 23 September 2010

Bekerja di Rumah Makan

Setelah memperoleh "jaminan" bahwa suami akan mendapat pinjaman sebesar 1,1 M saya mengatakan kepada cihu bahwa sertifikat tanah baru bisa diserahkan setelah kami mengambilnya di bank. Dan tentunya memerlukan waktu 2 minggu atau lebih. Cihu mengatakan tidak perlu, tetapi saya memaksakan hal itu harus saya lakukan. Buat saya, ketika "penjualan" terjadi, saya harus memberikan sertifikat. Hanya saya waktu itu meminta agar diberi waktu untuk menebusnya kembali, mungkin 4 atau 5 tahun, karena waktu saya membelinya dari keluarga mami, saya disarankan untuk tidak menjualnya. Karena nilai histori yang dimiliki oleh tanah tsb. Sepulang dari pembicaraan itu, saya kembali di goblok2 lagi oleh suami karena memaksakan keinginan saya untuk memberikan sertifikat. Suami bilang, jika saja saya tidak sok gengsi dengan memaksa cihu untuk menerima sertifikat, dia bisa kembali "menjual" sertifikat itu ke bank. Oooo, rupanya suami saya memang tipe tidak tahu diri. Hahahahaha. Kasihan ya saya ini? Punya suami kok tidak punya malu. Hahahahaha. Sedih, malu, tidak mengira bahwa suami sedemikian buruk dalam berpikir, malam itu juga saya menelepon keponakannya (bernama Wawa, anak perempuan cihu yang memberi pinjaman). Saya katakan pada Wawa, bahwa saya melakukan hal tsb bukan sok menjadi orang suci. Tetapi saya merasa hal itulah yang sepantasnya saya lakukan. Justru sya ingin memperlihatkan bahwa kikiwnya yang menikah dengan saya berbeda dengan kikiwnya yang lain, atau kukuh2nya. Saya selama ini sudah menjadi teman curhat Wawa tentang perilaku om dan tantenya dari pihak ibu. Jadi tidak slah jika saya bercerita tentang kikiw nya yang bungsu yang saya nikahi.
Malam itu, saya benar2 syok berat. Sungguh bukan hal mudah mengerti tentang kelicikan trah Trijaya. Saya sebenarnya sudah cukup mendapat cerita tentang kakak2 suami dari Wawa. Bagaimana mereka menggerogoti kekayaan ayahnya. Tetapi walaupun saya sudah mendapat bekal cerita, saya yang selama ini mengajarkan sikap "cengli" pada suami, malam itu mendapat suatu pengalaman, bahwa sifat turunan jelek memang susah dihapus. Selama 12 tahun perkawinan, saya tidak pernah meminta bantuan ekonomi pada cihu, tetapi saya terjerumus pada belaskasihan cihu bukan atas ke goblokan saya yang selama ini selalu suami dengung2an di telinga saya, tetapi sebaliknya , karena "kepandaian" suami lah saya masuk dalam lingkaran hutang budi pada cihu.
Hutang Budi. Inilah yang memulai saya terjun dalam bekerja di rumah makan.
Pada suatu hari, setelah saya menyerahkan sertifikat tanah itu pada cihu, saya diajak berbincang tentang kemungkinan membuka rumah makan di rumah cihu yang tidak dipakai. Saat itu juga saya teringat ramalan banthe, jadi saya ingin mencoba kebenaran ramalan itu. Betulkah saya memang mempunyai hoki di bidang makanan. Yang mengajak bukan cihu, tapi istrinya, yaitu cici suami. Tanpa berpikir apakah hal itu akan berjalan sesuai yang dibicarakan dengan manis, saya meng ok kan tsb. Pikiran saya bukan untuk berapa saya akan dibagi, tetapi saya ingat bahwa saya meminta waktu agar tanah itu tidak dijiual, jadi alangkah baiknya saya bisa membantu, agar dg demikian saya "seolah-olah" memberi bunga pada tanah yang saya gadaikan pada cihu.
Rupanya pengetahuan saya tentang klan keluarga suami benar2 nol besar. Pikiran saya tentang balas budi itu tidaklah ada yang baik di mata dan pikiran keluarga suami. Karena ketika Jan 2010, yang artinya saya meminjam uang tsb baru 1 tahun 3 bulan (dunia saham koleps Okt 2008), cici suami menanyakan kemungkinan tanah itu dijual pada Gereja GKI. Karena tanah saya itu memang sangat berdempet dengan GKI. Hati saya terluka saat itu juga!!!! Saya telan kepedihan itu dalam2. Saya katakan: Jual saja, tetapi saya tidak tahu berapa harga pasaran di sana. Pulang dari rumah makan, saya marah pada suami. Saya katakan saya ikhlaskan untuk menjual tanah itu, bagi saya itu mungkin kehendak Tuhan. Padahal, saya bukan faktor utama yang menyebabkan tanah warisan itu tergadaikan. Suamilah yang secara definitif adalah adik kandungnya yang membuat tanah warisan itu tergadaikan. Ketika menulis saat ini, emosi saya meledak. Saya menangis. Tetapi saya tahu saya harus ikhlas. Tuhan berjanji bahwa serigala ada goa, burungpun diberi sarang, maka saya pun boleh percaya, saya akan mendapat rumah yang layak pada suatu hari nanti.
Mungkin, jika saja ada yang membaca blog ini dan tahu tentang pribadi saya, tentu akan bertanya, bukankah saya dan suami sudah menempati rumah yang layak? Rumah yang kami tempati semenjak menikah, secara hukum negara bukan milik suami. Tetapi sertifikatnya atas nama kakak laki2nya (Tataw). Sudah sejak saya mempunyai anak pertama, kami bertanya tentang status rumah yang kami tinggali, dan sampai terakhir kami bertanya, Tataw tetap menggelengkan kepala untuk menjual rumah yang kami tempati itu. Jadi sampai blog ini saya tulis saya tidak mempunyai harta benda duniawi yang berarti!!!!!
Di bagian yang akan datang saya akan tulis tentang ke 6 kakak2 suami.

0 komentar: